Bayar Sesuai Tagihan

Nabung Dapat Income

Minggu, 27 Desember 2009

Tips Memulai Hari Dengan Cerah


Hari yang cerah bukan ditandai dengan matahari yang bersinar terang atau
udara yang sejuk, melainkan dari hati dan pikiran yang segar.
Kecerahan suatu hari dimulai dari diri anda sendiri. Kita tahu bahwa sesuatu yang dimulai dengan baik merupakan separuh dari pencapaian tujuan.
Karena itu, memulai aktivitas hari ini dengan kecerahan suasana adalah modal besar untuk menyelesaikan hari dengan baik pula. Bagaimana memulai hari dengan cerah sangat dipengaruhi oleh pola hidup kita. Berikut beberapa tips ringan agar kita bisa memulai hari dengan cerah:

1. Mulailah dari malam hari.
Kita tak bisa berharap bangun dengan segar jika di malam harinya tak cukup tidur nyenyak. Hari esok yang cerah dimulai dari malam ini. Bila anda masih mempunyai masalah, yakinlah masih ada waktu esok untuk menyelesaikannya lebih baik lagi. Malam ini, beristirahatlah sebaik-baiknya.

2. Bangun pagi lebih pagi.
Bangunlah lebih pagi daripada terbitnya matahari. Jumpai keheningan dan kesunyian. Pagi buta adalah saat yang tepat untuk menemukan sisi damai dalam diri anda.

3. Damaikan pikiran dan tentramkan jiwa.
Jangan terburu melakukan aktivitas. Resapi saja suasana pagi yang damai ini. Berdoa, sampaikan syukur atas hidup yang masih diberikan pada kita.

4. Segarkan tubuh.
Minum air. Hirup aroma teh atau kopi yang menyegarkan. Berjalan-jalanlah keluar. Pompa udara banyak-banyak ke dalam paru-paru. Lakukan olahraga ringan, Mandi dengan air segar. Bersihkan tubuh baik-baik. Tetaplah mengingat janji anda tadi pagi untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi semesta hari ini.

5. Dapatkan sarapan secukupnya.
Isi perut anda secukupnya. Sarapan yang baik adalah modal untuk kebugaran tubuh anda sepanjang hari.
Jangan asal kenyang, namun cukupkan kebutuhan energi dan gizi.

6. Sapalah orang-orang yang anda jumpai.
Terbarkan senyum. Tak peduli apakah matahari bersinar cerah atau mendung menggayut, sapalah orang-orang yang anda jumpai.
Tanyakan kabar mereka, maka jangan terkejut jika mereka pun akan membalas senyum anda.

7. Jangan mengeluh.
Apa pun yang terjadi, entah itu hari hujan, jalanan macet, kereta datang terlambat, kendaraan mogok, atau apa pun yang terjadi, terimalah semua itu apa adanya.
In everything, give thanks.
Selamat bekerja serta selamat bercerah hari.

Jumat, 18 Desember 2009

Kisah Besi dan Air


Ada dua benda yang bersahabat karib yaitu BESI dan AIR.
Besi seringkali BERBANGGA Akan DIRINYA SENDIRI. Ia sering Menyombong kepada Sahabatnya :

"Lihat ini aku, Kuat dan Keras. Aku Tidak Seperti Kamu yang Lemah dan Lunak" Air hanya Diam Saja Mendengar Tingkah Sahabatnya.

Suatu hari Besi Menantang Air Berlomba untuk Menembus Suatu Gua dan Mengatasi Segala Rintangan yang ada di sana.

Aturannya :"Barang siapa dapat melewati gua itu dengan selamat tanpa terluka maka ia dinyatakan menang."
Besi dan Air pun mulai berlomba :

Rintangan pertama mereka ialah mereka harus melalui Penjaga Gua itu yaitu Batu-batu yang Keras dan Tajam.

Besi mulai Menunjukkan Kekuatannya, Ia menyerang bebatuan, menabrakkan Dirinya ke batu-batuan itu. Karena Kekerasannya batu-batuan itu Mulai Runtuh dan Besi pun Banyak Terluka di sana - sini karena Melawan Batu-batuan itu. Air melakukan tugasnya dengan menetes sedikit demi sedikit untuk melawan bebatuan itu, ia lembut Mengikis Bebatuan itu sehingga Bebatuan lainnya Tidak Terganggu dan Tidak Menyadarinya, ia Hanya Melubangi Seperlunya Saja untuk Lewat tetapi Tidak Merusak Lainnya.

Score Air dan Besi 1 : 0 untuk rintangan ini.

Rintangan kedua mereka ialah mereka harus melalui berbagai celah sempit untuk tiba di dasar gua.

Besi Membanggakan Kekuatannya, ia Mengubah Dirinya menjadi Mata Bor yang Kuat dan ia Mulai Berputar untuk Menembus Celah-celah itu. Tetapi celah-celah itu ternyata Cukup Sulit untuk Ditembus, semakin Keras ia berputar, memang celah itu Semakin Hancur tetapi ia pun juga semakin terluka. Air dengan Santainya Merubah Dirinya Mengikuti Bentuk Celah-celah itu. Ia Mengalir Santai dan karena Bentuknya yang Bisa Berubah ia Bisa dengan Leluasa bergerak tanpa Terluka Mengalir Melalui Celah-celah itu dan tiba dengan Cepat Di dasar Gua.

Score air dan besi 2 : 0

Rintangan ketiga ialah mereka harus dapat melewati Suatu Lembah dan tiba di luar gua. 

Besi kesulitan mengatasi rintangan ini, ia tidak tahu harus berbuat apa, akhirnya ia berkata kepada air :

"Score kita 2 : 0, 

Aku akan Mengakui Kehebatanmu jika engkau dapat melalui rintangan terakhir ini !"
Air pun Segera Menggenang sebenarnya ia pun Kesulitan Mengatasi Rintangan ini, tetapi kemudian ia Membiarkan Sang MATAHARI Membantunya untuk Menguap. Ia Terbang dengan Ringan Menjadi Awan, kemudian ia Meminta Bantuan ANGIN untuk Meniupnya ke Seberang dan Mengembunkannya. Maka Air Turun sebagai HUJAN.

Air Menang Telak atas Besi dengan score 3 : 0.


JADIKANLAH HIDUPMU seperti AIR.

Ia Dapat Memperoleh Sesuatu dengan Kelembutannya Tanpa Merusak dan Mengacaukan semuanya, karena dengan Sedikit Demi Sedikit ia Bergerak tetapi ia Dapat Menembus Bebatuan yang Keras.

Kadang Kekerasan bukanlah jalan keluar dari satu masalah, malah sering kali menjadikan satu masalah baru.


Ingat... HATI SESEORANG Hanya Dapat Dibuka dengan Kelembutan dan

Kasih Bukan dengan Paksaan dan Kekerasan.

karena KEKERASAN Hanya Menimbulkan DENDAM dan PAKSAAN hanya

Menimbulkan KEINGINAN Untuk Membela Diri.


Air Selalu Merubah Bentuknya Sesuai dengan Lingkungannya,

ia FLEXIBEL dan Tidak Kaku karena itu ia Dapat Diterima oleh Lingkungannya dan Tidak Ada yang Bertentangan dengan Dia.

bukan berarti juga kita tidak punya prinsip sendiri, dan menghindari konflik yg mungkin terjadi...hanya saja kita lebih tenggang rasa dan lembut hati serta menjaga sikap santun terhadap lingkungan.


Air Tidak Putus Asa, Ia Tetap Mengalir Meskipun Melalui Celah Terkecil

Sekalipun. Ia Tidak Putus Asa, tetap berusaha walau dengan kemungkinan terkecil sekalipun.

Senin, 07 Desember 2009

Dua orang yang baik, tapi mengapa perkawinan tidak berakhir bahagia


Ibu saya adalah seorang yang sangat baik, sejak kecil, saya melihatnya
dengan begitu gigih menjaga keutuhan keluarga. Ia selalu bangun dini hari,
memasak bubur yang panas untuk ayah, karena lambung ayah tidak baik, pagi
hari hanya bisa makan bubur. Setelah itu, masih harus memasak sepanci nasi
untuk anak-anak, karena anak-anak sedang dalam masa pertumbuhan, perlu makan
nasi. Dengan begitu baru tidak akan lapar seharian di sekolah. Setiap sore,
ibu selalu membungkukkan badan menyikat panci, setiap panci di rumah kami
bisa dijadikan cermin, tidak ada noda sedikikt pun.

Menjelang malam, dengan giat ibu membersihkan lantai, mengepel seinci demi
seinci, lantai di rumah tampak lebih bersih dibandingkan sisi tempat tidur
orang lain, tiada debu sedikit pun meski berjalan dengan kaki telanjang. Ibu
saya adalah seorang wanita yang sangat rajin.

Namun, di mata ayahku, ia (ibu) bukan pasangan yang baik. Dalam proses
pertumbuhan saya, tidak hanya sekali saja ayah selalu menyatakan kesepiannya
dalam perkawinan, tidak memahaminya. Ayah saya adalah seorang laki-laki yang
bertanggung- jawab. Ia tidak merokok, tidak minum-minuman keras, serius
dalam pekerjaan, setiap hari berangkat kerja tepat waktu, bahkan saat libur
juga masih mengatur jadual sekolah anak-anak, mengatur waktu istrirahat
anak-anak, ia adalah seorang ayah yang penuh tanggung jawab, mendorong
anak-anak untuk berprestasi dalam pelajaran. Ia suka main catur, membuat
kaligrafi, suka larut dalam dunia buku-buku kuno.

Ayah saya adalah seorang laki-laki yang baik, di mata anak-anak, ia maha
besar seperti langit, menjaga kami, melindungi kami dan mendidik kami. Hanya
saja di mata ibuku, ia juga bukan seorang pasangan yang baik. Dalam proses
pertumbuhan saya, kerap kali saya melihat ibu menangis terisak secara diam
diam di sudut halaman.

Ayah menyatakannya dengan kata-kata, sedangkan ibu dengan aksi, menyatakan
kepedihan yang dijalani dalam perkawinan. Dalam proses pertumbuhan, aku
melihat juga mendengar ketidak-berdayaan dalam perkawinan ayah dan ibu,
sekaligus merasakan betapa baiknya mereka, dan mereka layak mendapatkan
sebuah perkawinan yang baik.

Sayangnya, dalam masa-masa keberadaan ayah di dunia, kehidupan perkawinan
mereka lalui dalam kegagalan. Sedangkan aku juga tumbuh dalam kebingungan,
dan aku bertanya pada diriku sendiri: Dua orang yang baik mengapa tidak
diiringi dengan perkawinan yang bahagia?


Pengorbanan yang dianggap benar

Setelah dewasa, saya akhirnya memasuki usia perkawinan, dan secara
perlahan-lahan saya pun mengetahui akan jawaban ini.

Di masa awal perkawinan, saya juga sama seperti ibu, berusaha menjaga
keutuhan keluarga, menyikat panci dan membersihkan lantai, dengan
sungguh-sungguh berusaha memelihara perkawinan sendiri. Anehnya, saya tidak
merasa bahagia, dan suamiku sendiri sepertinya juga tidak bahagia. Saya
merenung, mungkin lantai kurang bersih,

masakan yang tidak enak. Lalu dengan giat saya membersihkan lantai lagi,
dan memasak dengan sepenuh hati. Namun, rasanya kami berdua tetap saja tidak
bahagia.

Hingga suatu hari, ketika saya sedang sibuk membersihkan lantai, suami saya
berkata:

"Istriku, temani aku sejenak mendengarkan alunan musik!" Dengan mimik tidak
senang saya berkata: "Apa tidak melihat masih ada separuh lantai lagi yang
belum dipel?"

Begitu kata-kata ini terlontar, saya pun termenung, kata-kata yang sangat
tidak asing di telinga, dalam perkawinan ayah dan ibu saya, ibu juga kerap
berkata begitu sama ayah. Saya sedang mempertunjukkan kembali perkawinan
ayah dan ibu, sekaligus mengulang kembali ketidak-bahagiaan dalam perkawinan
mereka. Ada beberapa kesadaran muncul dalam hati saya. "Apa yang kamu
inginkan?"

Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu memandang suamiku, dan teringat
akan ayah saya. Ia selalu tidak mendapatkan pasangan yang dia inginkan dalam
perkawinannya. Waktu ibu menyikat panci lebih lama daripada menemaninya.
Terus menerus mengerjakan urusan rumah tangga adalah cara ibu dalam
mempertahankan perkawinan.

Ia memberi ayah sebuah rumah yang bersih, namun, jarang menemaninya, sibuk
mengurus rumah. Ia berusaha mencintai ayah dengan caranya, dan cara ini
adalah mengerjakan urusan rumah tangga. Dan aku juga menggunakan caraku
berusaha mencintai suamiku, cara saya juga sama seperti ibu.

Perkawinan saya sepertinya tengah melangkah ke dalam sebuah cerita "Dua
orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkawinan yang bahagia?"
Kesadaran saya membuat saya membuat keputusan (pilihan) yang sama. Saya
hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu duduk di sisi suami, menemaninya
mendengarkan musik, dan dari kejauhan saat memandangi kain pel di atas
lantai seperti menatapi nasib ibu.

Saya bertanya pada suamiku: "Apa yang kau butuhkan?"

"Aku membutuhkanmu untuk menemaniku mendengarkan musik. Rumah kotor sedikit
tidak apa-apalah, nanti saya carikan pembantu untukmu, dengan begitu kau
bisa menemaniku!" ujar suamiku.

"Saya kira kamu perlu rumah yang bersih, ada yang memasak untukmu, ada yang
mencuci pakaianmu.. dan saya mengatakan sekaligus serentetan hal-hal yang
dibutuhkannya. "

"Semua itu tidak penting!", ujar suamiku. Yang paling kuharapkan adalah kau
bisa lebih sering menemaniku.

Ternyata sia-sia semua pekerjaan yang saya lakukan, hasilnya benar-benar
membuat saya terkejut. Kami meneruskan menikmati kebutuhan masing-masing,
dan baru saya sadari ternyata dia juga telah banyak melakukan pekerjaan yang
sia-sia, kami memiliki cara masing-masing bagaimana saling mencintai, namun,
bukannya cara pihak kedua.


Jalan kebahagiaan

Sejak itu, saya menderetkan sebuah daftar kebutuhan suami, dan meletakkanya
di atas meja buku, Begitu juga dengan suamiku, dia juga menderetkan sebuah
daftar kebutuhanku.

Puluhan kebutuhan yang panjang lebar dan jelas, seperti misalnya waktu
senggang menemani pihak kedua mendengarkan musik, saling memeluk kalau
sempat, setiap pagi memberi sentuhan selamat jalan bila berangkat.

Beberapa hal cukup mudah dilaksanakan, tapi ada juga yang cukup sulit,
misalnya: 'Dengarkan aku, jangan memberi komentar'. Ini adalah kebutuhan
suami. Kalau saya memberinya usul, dia bilang akan merasa dirinya akan
tampak seperti orang bodoh. Menurutku, ini benar-benar masalah gengsi
laki-laki.

Saya juga meniru suami tidak memberikan usul, kecuali dia bertanya pada
saya. Kalau tidak saya hanya boleh mendengarkan dengan serius, menurut
sampai tuntas. Demikian juga ketika salah jalan.

Bagi saya ini benar-benar sebuah jalan yang sulit dipelajari, namun, jauh
lebih santai daripada mengepel, dan dalam kepuasan kebutuhan kami ini,
perkawinan yang kami jalani juga kian hari semakin penuh daya hidup.

Saat saya lelah, saya memilih beberapa hal yang gampang dikerjakan,
misalnya menyetel musik ringan. Dan kalau lagi segar bugar merancang
perjalanan ke luar kota. Menariknya, pergi ke taman flora adalah hal bersama
dan kebutuhan kami. Setiap ada pertikaian, kami selalu pergi ke taman flora,
dan selalu bisa menghibur gejolak hati masing-masing. Sebenarnya, kami
saling mengenal dan mencintai juga dikarenakan kesukaan kami pada taman
flora, lalu bersama kita menapak ke tirai merah perkawinan. Kembali ke taman
bisa kembali ke dalam suasana hati yang saling mencintai bertahun-tahun
silam.

Bertanya pada pihak kedua: "Apa yang kau inginkan", kata-kata ini telah
menghidupkan sebuah jalan kebahagiaan lain dalam perkawinan.

Keduanya akhirnya melangkah ke jalan bahagia. Kini, saya tahu kenapa
perkawinan ayah ibu tidak bisa bahagia. Mereka terlalu bersikeras
menggunakan cara sendiri dalam mencintai pihak kedua, bukan mencintai
pasangannya dengan cara pihak kedua.

Diri sendiri lelahnya setengah mati, namun pihak kedua tidak dapat
merasakannya. Akhirnya ketika menghadapi penantian perkawinan, hati ini juga
sudah kecewa dan hancur.

Karena Tuhan telah menciptakan perkawinan, maka menurut saya, setiap orang
pantas dan layak memiliki sebuah perkawinan yang bahagia, asalkan cara yang
kita pakai itu tepat, menjadi orang yang dibutuhkan pihak kedua! Bukannya
memberi atas keinginan kita sendiri. Perkawinan yang baik, pasti dapat
diharapkan.~


Erabaru (Sumber Secret China)

Sabtu, 05 Desember 2009

TELAGA HATI (renungan bagus)


Suatu hari seorang tua bijak didatangi seorang pemuda yang sedang dirundung masalah. Tanpa membuang waktu pemuda itu langsung menceritakan semua masalahnya.
Pak tua bijak hanya mendengarkan dgn seksama, lalu Ia mengambil segenggam serbuk pahit dan meminta anak muda itu untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya serbuk pahit itu ke dalam gelas, lalu diaduknya perlahan;
"Coba minum ini dan katakan bagaimana rasanya ", ujar pak tua. "Pahit, pahit sekali ", jawab pemuda itu sambil meludah ke samping
Pak tua itu tersenyum, lalu mengajak tamunya ini untuk berjalan ke tepi telaga belakang rumahnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan dan akhirnya sampai ke tepi telaga yg tenang itu. Sesampai disana, Pak tua itu kembali menaburkan serbuk pahit ke telaga itu, dan dengan sepotong kayu ia mengaduknya.
"Coba ambil air dari telaga ini dan minumlah." Saat si pemuda mereguk air itu, Pak tua kembali bertanya lagi kepadanya,
"Bagaimana rasanya ?"
"Segar", sahut si pemuda.
"Apakah kamu merasakan pahit di dalam air itu ?" tanya pak tua
"Tidak, " sahut pemuda itu
Pak tua tertawa terbahak-bahak sambil berkata:
"Anak muda, dengarkan baik-baik. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam serbuk pahit ini, tak lebih tak kurang. Jumlah dan rasa pahitnyapun sama dan memang akan tetap sama. Tetapi kepahitan yg kita rasakan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkannya. Jadi saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu yg kamu dapat lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya itu, luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu".
Pak tua itu lalu kembali menasehatkan:
"Hatimu adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi jangan jadikan hatimu seperti gelas, buatlah laksana telaga yg mampu menampung setiap kepahitan itu, dan merubahnya menjadi kesegaran dan kedamaian. Karena Hidup adalah sebuah pilihan, mampukah kita jalani kehidupan dengan baik sampai ajal kita menjelang? Belajar bersabar menerima kenyataan adalah yang terbaik"
***